Menurut kamus bahasa Indonesia kematian yang berasal dari kata dasar mati adalah tidak hidup lagi, meninggal dunia, wafat atau tutup usia. Tetapi menurut seorang filsuf dari jerman bernama Kierkegaard “kematian adalah akhir dari segalanya, dan secara manusiawi akan ada harapan, hanya selama kehidupan itu ada” sederhananya kehidupan itu akan berjalan terus menerus selama manusia mampu bertindak untuk merealisasikan apa yang manusia inginkan, terlepas dari latar belakang si manusia itu sendiri. Seorang teman pernah berkata kepada saya ”jadikanlah sebuah angan-angan menjadi keinginan, lalu imajinasikan menjadi sebuah harapan lalu realisasikanlah menjadi kenyataan” saya setuju dengan apa yang teman saya katakan, selama ada harapan atau angan-angan selama itu pula ada harapan untuk merealisasikannya. Lalu kenapa sebagian orang masih menganggap kematian itu adalah akhir dari segalanya??? Secara logika kematian merupakan akhir, tapi bukan akhir dari segalanya. Bagaimana kalau kita mendefinisikan arti kematian itu dengan kematian seorang laki-laki paruh baya yang mempunyai harta tujuh turunan dan siap untuk mati, dengan meninggalkan seorang wanita belia yang haus akan hartanya dan dengan harap-harap cemas menunggu kematian sang suami, hmm saya rasa ini bukan arti bahwa kematian adalah akhir dari segalanya, justru kematian inilah awal dari segalanya, awal dari si wanita belia ini mulai mencari sebuah arti “kesenangan” dalam hidupnya yang mungkin ia tidak pernah dapat dari sang suami… atau kita bisa lihat dari gugurnya para pahlawan yang membuat satu titik awal kehidupan baru untuk rakyat-rakyatnya. Disini jelas terlihat bahwa kematian sekali lagi bukan akhir dari segalanya, bila dilihat sebenarnya arti dari kematian itu sendiri bisa kita lihat dari sudut pandang yang mana, sehingga kita bisa dengan mudah menginterpretasikan arti dari kematian itu sendiri.
Kematian tetap menjadi sebuah momok yang ditakuti masyarakat, kematian tetap mencemaskan masyarakat, namun tidak satupun orang-orang bisa lari darinya, kultur kematian tetap diselubungi aura pesona yang menyeramkan dan mempunyai makna yang banyak, sederhananya kematian tetap menjadi sebuah symbol atau icon yang menyeramkan tapi di satu sisi kita sebagai masyarakat tidak bisa mengelak dari kematian.
Nilai menurut F. budi hardiman adalah sesuatu yang kita hargai, misalnya nilai dari kecantikan yang secara tidak langsung mendorong individu untuk merawat, menghiasi dan menampilkan tubuhnya, dan lewat pengakuan orang lain ia merasa egonya(atau nafsunya) bisa terpenuhi. Di dalam sebuah pengalaman dari nilai kecantikan yang ekstase kadang-kadang ego merasa seolah-olah mengatasi kematian, ego kadang-kadang memberikan pengaruh besar terhadap manusia untuk menumpulkan perasaan cemas akan kematian bahkan mungkin bisa untuk melupakannya. Lalu apa yang bisa kita ambil dari nilai kematian, selain merasakan akan rasa kehilangan yang amat sangat dari orang yang kita cintai atau mungkin orang yang kita benci. Satu hal yang saya lihat ego tidak terlalu memainkan perannya di sini. Di sini ego hanya bertindak sebagai pelengkap yang tidak mempunyai makna yang terlalu banyak.
F. budi hardiman mengambil 2 contoh bagaimana cara suatu nilai kematian dapat menumpulkan rasa kecemasan pada kematian itu sendiri. contoh yang pertama kita bisa lihat bagaima para fans dari inul daratista yang berdesak-desakan menari dan memujanya bak seorang putri raja dan melupakan kematian, sedangkan contoh yang kedua terdapat pada kaum fundamentalis atau kaum puritan yang bersedia mati demi agama yang ia cintai dan membayangkan bahwa kematian sebagai suatu jalan yang sangat amat bernilai.
Sederhananya entah kita merubah arti dari kematian itu sendiri menjadi sesuatu yang positif atau berusaha melupakan sejenak tentang kematian, kematian tetap merupakan hal yang mistis dan terkesan absurd. Dan yang paling jelas saya tidak melihat adanya unsur bliss di kematian kecuali kematian seorang laki-laki paruh baya yang sangat amat dinanti oleh seorang wanita belia. JJ
No comments:
Post a Comment